***
Melania
Riska Putri tercatat sebagai peraih nilai Ujian Nasional tertinggi pertama di
sekolahnya. Dengan nilai yang hampir
mendekati sempurna, Mela seharusnya tak perlu ambil pusing tentang sekolah yang
akan dituju setelah itu. Seharusnya Mela
memiliki pemikiran yang sama seperti tahun tahun sebelumnya, dia tidak mau
masuk sekolah yang sama seperti kakaknya.
Tapi entah kenapa tahun ini ingin rasanya dia masuk sekolah yang sama
seperti Egy.
“jadi kamu mau daftar di sekolah
mana, Chik?”, tanya Ayah ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga.
“Masih bingung, Yah”
“Lho kok masih bingung? Dua hari
lagi pendaftaran dibuka, kamu harus cepet-cepet daftar kalau gak mau kehabisan
tempat. Atau kamu mau sekolah di
Semarang? Di sekolahnya Om Panji?”
“Hus Ayah, masak tega Chika disuruh
sekolah jauh dari kita”, Bunda komplain.
Om Panji adalah adik ayah Mela, dia memiliki yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan yang lumayan besar.
Mela bisa saja masuk ke sekolah itu tanpa perlu mengikuti tes masuk.
“Loh kenapa? Chika kan sudah besar
lagipula sekolahnya Om Panji itu sudah bertaraf internasional, sudah banyak
lulusan dari sana yang langsung melanjutkan sekolah ke luar negeri. Kamu juga
pengen kuliah di luar negeri kan, Chik?”, ayah setengah membujuk Chika
“iya, Yah. Tapi disini kan juga
banyak sekolah yang kayak gitu. Besok
deh Chika putusin mau daftar dimana.
Malem ini Chika mau semedi dulu, hehehe.
Dahh Ayah, Daahh Bunda”, Mela segera masuk ke kamarnya di lantai dua,
mencoba memikirkan sekolah yang akan dia tuju.
Beruntungnya Mela dikelilingi oleh
orang orang yang tidak otoriter, orangtua Mela selalu menyetujui keputusan Mela
asalkan itu baik untuknya. Dan juga
dengan konsekuensi baik buruk yang harus dia tangani sendiri. Walaupun Ayah Mela adalah lulusan S2 di Jerman,
tapi tidak pernah menuntut kedua anaknya untuk mengikuti jejaknya. Apalagi anak seperti Egy yang susah diatur,
setiap hari kerjaannya main terus, untung saja keahliannya di bidang olahrahga
membuat ayahnya cukup bangga dan nilai-nilai buruk di sebagian besar mata pelajaran
di sekolahnya tertutupi oleh segudang prestasi di bidang karate yang dia geluti
sejak SD.
Sementara itu Mela di kamarnya
tengah sibuk memikirkan akan mendaftar di sekolah yang mana. Mela tahu, sekolah Egy itu tidak buruk bahkan
sekolah Egy sangat terkenal karena mempunyai segudang prestasi non-akademik
tapi memang untuk prestasi akademik, nama sekolah itu belum bersinar. Mela juga bingung karena ada beberapa sekolah
terkenal yang menawari beasiswa bahkan Mela bisa diterima tanpa tes. Tapi entah kenapa keinginannya untuk
bersekolah di sekolah yang sama dengan Egy sangat kuat. Mungkin kali ini memang Mela harus bersekolah
di SMA Persada, SMA swasta terbaik di bidang non-akademik di Jakarta.
***
Tak heran SMA Persada mempunyai
segudang prestasi. Mela yang untuk pertama kalinya ke sekolah itu untuk
mendaftar sangat kagum dengan fasilitas yang ada. Fasilitas olahraganya sangat lengkap dan
bertaraf internasional, mulai dari catur sampai tinju pun ada. Untuk siswa yang sangat berminat di bidang
seni, ada sebuah ruangan khusus untuk melukis, memahat, sampai membatik pun ada
dan ada juga sebuah ruangan besar yaitu tempat memamerkan segala macam hasil
karya para siswa yang biasa disebut galeri.
Ada lagi sebuah studio musik lengkap dari alat musik tradisional sampai
yang modern.
Mela tak henti-hentinya bertanya ini
itu kepada Egy yang mengantarmya pada saat pendaftaran dan dengan bangganya Egy
juga menjelaskan dengan sangat detail semua fasilitas sekolah yang ada. Ternyata keputusan Mela bersekolah di sekolah
Egy bukanlah tempat yang salah.
“Loh Egy, sedang apa kamu disini?”, seorang lelaki paruh
baya yang kebetulan lewat di depan Egy dan Mela berhenti menyapa.
“Eh pak Joko, ini pak nganterin adik saya daftar”, Egy menyalami
tangan lelaki itu yang ternyata diketahui bahwa beliau adalah wali kelas Egy.
“Wah pinter karate juga nggak nih adik kamu?”
“pinter gebukin orang sih iya Pak”, untungnya Mela sedang
mengantri untuk mengambil formulir pendaftaran, jadi dia tak perlu mendengar
ocehan Egy yang sedikit menyebalkan itu.
“oh ya, tadi Pak Hadi nyari kamu, ayo cepat kamu temui !
dari kemarin katanya nomor kamu gak bisa dihubungi”
“Hehe iya pak, saya ganti nomor”, Egy nyengir kuda, sejak
jadian dengan Sari, Egy memang diwajibkan ganti nomor karena Sari tidak mau
mantan-mantan Egy terus saja mengganggu Egy.
“Ya sudah sana cepat kamu ke kantor. Katanya Pak Hadi butuh berkas-berkas kamu
untuk persiapan lomba karate yang di Korea itu”
“Iya Pak, saya temui adik saya dulu”
Egy menghampiri Mela dan memintanya untuk menunggu
sebentar kalau ternyata setelah proses pendaftaran selesai urusannya dengan pak
Hadi belum juga selesai. Mela mengiyakan
saja permintaan Egy karena dia sudah merasa betah dan ingin berlama-lama di
calon sekolah barunya itu.
Satu jam telah berlalu, sesi wawancara untuk tes masuk
juga sudah selesai. Mela menunggu di
pinggir lapangan basket yang sepi karena siswa lainnya sedang libur semester. Mela membayangkan ada Dimas disana yang
sedang bermain basket. Tahun lalu Egy memang pernah mengajak Mela menonton
pertandingan basket antara tim SMA Persada dan tim SMA Merah Putih di lapangan
SMA Persada. Mela masih ingat salah satu
anggota tim basket SMA Persada adalah Dimas dan melihatnya beraksi di lapangan
membuat Mela semakin klepek-klepek. Di
tengah lamunannya tiba-tiba ponsel Mela berdering.
Mela : “ya Kak?”
Egy : “Udah selesai tesnya?”
Mela :
“iya, kakak dimana?”
Egy : “masih di ruang guru, kayaknya bakal lama deh. Ribet banget nih Pak Hadi”
Mela :
Trus gimana Kak? Gue tungguin aja deh gapapa”
Egy : “jangan deh, entar lo boring trus pas pulang ngadu sama
Bunda kalo gue nelantarin elo”
Mela :
“Diihhh emangnya gue
tukang ngadu apa !”
Egy : “yee emang lo tukang ngadu. Eh bentar-bentar gue baru
inget !”
Mela :
“inget apaan?”
Egy : “lo dimana sekarang?”
Mela :
“orang nanya balik
nanya. Di lapangan basket”
Egy : “oke, ya udah lo tunggu disitu aja ya bentar”
Mela :
“tungguin kakak
maksudnya?”
Telepon
langsung ditutup begitu saja dan membuat Mela kebingungan.
“maksudnya apa sih?”, umpat Mela dalam
hati. Tapi Mela menurut saja, dia tetap
duduk dipinggir lapangan basket, entah menunggu siapa.
“Hei
!”, tiba-tiba seseorang mencolek pinggangnya, kalau saja orang itu bukan Dimas
pasti dia sudah menghajarnya, berani-beraninya colek-colek.
“Ngapain
disini kak? Bukannya sekolah libur?”, Mela berlagak sok cuek padahal hatinya
girang sekali bertemu Dimas.
“Habis
rapat osis, ngerencanain buat MOS gitu”
“hah?
Elo OSIS? Jadi lo yang bakal bentak-bentak gue nanti waktu MOS?”, Mela berkata
sambil memelototkan matanya.
“hahahaa
kenapa? Lo takut yaaa....??”, Dimas menggoda Mela sambil menunjuk-nunjuk hidung
Mela.
“ih
apaan sih !”, Mela langsung menepis tangan Dimas padahal dalam hatinya dia
senang. “gue sih gak takut kalo cuma
dibentak elo, Kak. Gue laporin Kak Egy
aja kalo lo ngebntak-bentak gue”.
“hahaha
emangnya Egy bakalan ngapain gue kalo gue bentak-bentak elo? Udah ah yuk gue anter pulang”, Dimas langsung
menarik tangan Mela dan kontan saja membuat jantung Mela berdegup kencang.
“Ng
nggak, ap apaan sih elo ! gue lagi nungguin Kak Egy kok”, Mela menundukkan
mukanya karena malu bahkan berbicaranya pun jadi terbata-bata.
“tadi
si Egy sms gue nyuruh gue temenin lo disini atau kalo gue ga repot suruh nganterin
lo pulang. Nih smsnya kalo gak percaya”,
Dimas menyodorkan ponselnya pada Mela, Mela hanya diam saja bingung harus
menjawab apa ketika tahu kalau Egy yang menyuruh Dimas mengantarnya pulang. “Jadi lo mau gue anterin pulang apa mau gue
temenin jalan-jalan?”
“Jalan-jalan?”,
Mela semakin bingung ketika Dimas menawarinya jalan-jalan.
“iya
jalan-jalan, kemana aja deh terserah lo mumpung gue lagi gak sibuk ni”, Dimas
berkata sambil melemparkan senyum termanisnya.
***
Tiga
puluh menit kemudian, Dimas dan Mela sudah duduk di salah satu kafe dengan
ditemani dua porsi sirloin steak dan milk shake. Mereka berdua tampak akrab ngobrol dan sama
sekali tidak ada pertengkaran seperti biasanya.
“Chik
lo kan sudah SMA nih, sudah mau pacaran belom?”, tanya Dimas
“mau
mau aja kalau cowok yang gue mau juga mau sama gue”, jawab Mela
“ribet
banget kalimat lo. Jadi selama ini lo
suka sama cowok? Siapa? Cerita dooongg”, Dimas mencoba membujuk Mela. Padahal dalam hatinya dia kecewa karena
ternyata Mela sudah menyukai seseorang.
Mela
hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Dimas. “kok malah senyam senyum? “ Dimas
bertanya-tanya.
“emang
gak boleh gue senyum? Senyum gue kan manis”, Mela menjulurkan lidahnya pada
Dimas.
“Ayolah
Chik, lo pelit banget sama gue. Gue kan
sahabat kakak lo yang berarti kakak lo juga”
“Kakak
dari Hongkong? Nggak ah ogah gue cerita
sama lo. Kak Egy aja gak gue ceritain
masak lo yang mau gue ceritain?”
“Pelit
banget sih lo. Ayo cerita gak !”, Dimas
mencubit lengan Mela
“Aw
! Kak Dimas apaan sih sakit tauk !”
“Cerita
gak?”
“nggak”
“Cerita!”
“nggak
!”
“Ayolah
Chik cerita !”
“emang
kalo gue cerita lo mau jadi cowok gue?”
“Mau
!”
Hening.
***
bersambung
0 komentar:
Posting Komentar